Tuesday 5 May 2015

Golongan-golongan Orang Dalam Puasa

Segala puji bagi Allah yang mengkokohkan bangunan dan ciptaan-Nya dengan hikmah. Dia telah menetapkan berbagai syari’at sebagai perwujudan rahmat, hikmah dan jalan yang harus ditempuh. Dia memerintahkan kita untuk mentaati-Nya bukan karena Dia membutuhkan ketaatan kita, namun karena kita sendirilah yang membutuhkan ketaatan tersebut. Dialah yang mengampuni dosa-dosa orang yang mendekati-Nya dengan bertaubat, serta melipatgandakan pahala dan pemberian bagi orang-orang yang berbuat baik.

Saudara-saudaraku, pada kesempatan ini akan kami paparkan golongan-golongan orang yang berpuasa serta hukum puasa bagi mereka. Adapun orang-orang yang berpuasa, mereka terbagi menjadi sepuluh kelompok :

Muslim yang baligh, berakal, bermukim, mampu dan tidak berhalangan.

Wajib baginya melakukan puasa pada bulan Ramadhan, tidak boleh menunda atau mengakhirkannya, berdasarkan al-Kitab, as-Sunah dan Ijma’. Telah ada ijma’ dari para ulama Islam tentang wajibnya puasa bagi orang-orang yang memiliki sifat-sifat yang disebutklan dalam surat al-Baqarah ayat 185 dan sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Salam “Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah.” (Muttafaq ‘alaih). Tanpa boleh ditunda pelaksanaanya.

Adapun orang kafir, tidak wajib baginya berpuasa, bahkan puasanya tidak sah. Sebab, ibadah ini tidak diperuntukkan baginya. Jika ia masuk Islam pada pertengahan Ramadhan, maka ia tidak wajib mengqadha hari-hari sebelumnya, dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat al-Anfal ayat 38.

Sekiranya ia masuk Islam pada siang hari bulan Ramadhan, maka ia waib untuk segera menahan diri seperti layaknya orang yang berpuasa hingga terbenamnya matahari tanpa wajib mengqadha hari itu. Sebab, ketika masuk Islam, ia langsung terkena kewajiban puasa sepertiu layaknya kaum Muslimin lainnya. Akan tetapi, ia tidak wajib mengqadha hari itu karena pada pagi harinya ia masih kafir dan belum tekena kewajiban puasa.


Anak kecil.
Seorang anak tidak dikenai kewajiban puasa sampai ia baligh. Dalilnya adalah sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Salam :

“Pena itu diangkat (Allah tidak menulis sesuatu dosa) dari tiga golongan orang yang tidur hingga bangun, anak kecil hingga baligh dan orang gila hingga sadar.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan An-Nasa’I serta dishahihkan oleh al-Hakim).

 Meskipun demikian, sebaiknya wali anak tersebut menyuruhnya berpuasa jika memang mampu. Sebagai latihan baginya agar terbiasa melakukan amalan-amalan ketaatan hingga ia baligh nanti. Adapun anak laki-laki mencapai usia baligh dengan salah satu dari tiga hal berikut :

Pertama : Keluarnya mani, baik melalui mimpi ataupun selainnya.

Kedua : Tumbuhnya rambut di sekitar kemaluan bagian depan.

Ketiga : Telah mencapai usia lima belas tahun.


Hal yang sama juga berlaku untuk wanita. Namun, ada satu tanda lagi yang menunjukkan bahwa ia telah mencapai usia baligh, yaitu haidh.



Orang gila.
Yaitu orang yang hilang akalnya. Dia tidak dikenai kewajiban puasa berdasarkan hadits yang telah lalu:”Pena itu diangkat dari tiga golongan… dan seterusnya.” Jika ia berpuasa dalam keadaan gila, maka puasanya tidak sah. Sebab, ia tidak berniat dan berakal, bahkan tidak mampu memahami makna ibadah.



Orang tua yang telah pikun (hilang ingatan) dan sudah tidak memiliki kemampuan untuk membedakan.
Dia tidak wajib berpuasa dan tidak harus membayar fidyah karena sudah tidak lagi terkena taklif (kewajiban syari’at), disebabkan hilangnya tamyiz (kemapuan untuk membedakan). Dia disamakan dengan anak kecil yang belum mencapai usia tamyiz.



Orang yang tidak mampu berpuasa.
Seperti orang tua dan orang yang penyakitnya tidak bias disembuhkan, semisal kanker dan lain-lain. Mereka ini tidak wajib berpuasa disebabkan ketidakmampuan mereka. Akan tetapi mereka wajib membaya fidyah, yaitu member makan satu orang miskin sebagai ganti hari puasa yang ditinggalkannya.

Pembayaran fidyah boleh dilakukan secara terpisah. Tiap orang miskin mendapat satu mudd gandum yang kualitasnya baik, yaitu setara dengan 1/4 sha’ Nabawi. Beratnya adalah setengah kilo lebih sepuluh gram. (ataupun nasi padang satu bungkus)-ed

Musafir.
Jika seseorang sengaja bepergian supaya dapat berbuka, maka ia wajib berpuasa dan haram berbuka. Sebaliknya, jika seseorang tidak menyengaja pergi untuk berbuka. Sebaliknya, jika seseorang tidak menyengaja pergi untuk bebuka, maka ia boleh memilih antara tetap berpuasa atau berbuka. Hal ini berlaku baik kepergiannya itu akan memakan waktu yang singkat ataupun lama dan baik sifatnya incidental (sewaktu-waktu) untuk tujuan tertentu ataupun berkesinambungan, seperti pilot dan suupir taksi.

Yang lebih afdhal bagi musafir adalah melakukan perkara yang lebih mudah baginya, baik berpuasa ataupun berbuka. Jika kedua-duanya sama-sama mudah, maka puasa lebih afdhal baginya karena hal itu lebih mempercepat gugurnya kewajiban. Disamping itu, musafir tadi akan merasa lebih kuat karena ia menjalankan puasa bersama-sama orang banyak.



Orang sakit yang kesembuhannya tidak bias diharapkan.
Hal ini memiliki tiga kondisi :

            Pertama : Puasa itu tidak memberatkan dan memudharatkan pelakunya. Pada kondisi ini, orang itu wajib berpuasa karena ia tidak memiliki udzur yang membolehkannya untuk berbuka.

            Kedua : Puasa itu memberatkan pelakunya, namun tidak memudharatkannya. Pada kondisi demikian, ia boleh berbuka. Makruh hukumnya untuk tetap berpuasa jika puasa itu memberatkan seseorang. Ini berarti pelakunya tidak mengambil rukhsah (keringanan) yang Allah berikan, sekaligus menyiksa dirinya sendiri.

            Ketiga : Puasa itu memudharatkannya. Pada kondisi ini, ia wajib berbuka dan haram berpuasa.



Wanita haidh.
Haidh adalah darah alami yang secara rutin keluar dari rahim wanita pada hari-hari tertentu.

Jika seorang wanita mengalami haidh ketika dalam keadaan puasa, meskipun hanya sesaat sebelum tenggelamnya matahari, maka puasanya pada hari itu batal dan ia wajib menggantinya. Terkecuali apabila puasanya tersebut adalah puasa sunnah, maka hukum menggantikannya juga sebatas sunah, tidak wajib.

Jika seorang wanita telah suci dari haidh pada siang hari bulan Ramadhan, maka puasanya pada hari itu pun tidak sah karena adanya perkara yang membatalkan puasanya di waktu pagi. Aka tetapi, apakah ia wajib menahan diri hingga tenggelamnya matahari seperti halnya orang yang berpuasa jika telah suci? Terdapat perselisihan di kalangan ulama dalam masalah ini, sebagaimana yaitu pada masalah musafir yang kembali ke negerinya dalam keadaan berbuyka pada siang hari bulan Ramadhan.

Sebaliknya, jika pada waktu malam seorang wanita telah suci dari haidh, meskipun hanya sesaat sebelum terbit fajar, maka ia wajib berpuasa pada hari itu. Sebab, pada asalnya ia memang terkena kewajiban puasa, bahkan hal yang menghalanginya dari puasa sudah tidak ada. Puasanya pada hari itu sah meskipun ia mandi setelah terbit fajar. Seperti halnya orang junub yang tetap berpuasa walaupun ia mandi setelah fajar terbit.



Wanita hamil dan menyusui.
Jika puasa itu dikhawatirkan akan mengganggu keselamatan diri atau anak wanita tersebut, maka mereka boleh berbuka.

Meskipun demikian, orang-orang tersebut tetap wajib mengqadha puasa sejumlah hari yang ditinggalkan ketika mereka telah mengalami kemudahan untuk berpuasa dan kekhawatiran mereka sudah lenyap. Sebagaimana halnya hukum puasa bagi orang sakit jika dia telah sembuh.



Orang yang terpaksa berbuka untuk menolak bahaya yang mengancam diri orang lain.
Contoh dalam hal ini adalah seperti menyelamatkan jiwa yang ma’shum (tidak boleh dibunuh) dari tenggelam, keabakaran, ke-hacuran atau semisalnya. Ia dibolehkan berbuka jika tindakan penyelamatan tersebut memang tidak mungkin dilakukan, kecuali dengan berbuka, untuk menguatkan tubuh.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Salam bersabda :

“Barangsiapa yang meninggal dlam keadaan masih mempunyai kewajiban puasa maka walinya berpuasa untuknya.” (muttafaq ‘alaih)

Walinya adalah ahli waris dan kerabatnya. Kewajiban puasa tersebut boleh digantikan oleh sekumpulan orang yang jumlahnya sama dengan bilangan hari yang ditinggalkan, lalu mereka serempak berpuasa pada satu hari tertentu.

Saudara-saudaraku, inilah golongan-golongan manusia dalam timbangan hukum puasa. Allah mensyari’atkan kepada setiap golongan sesuai dengan keadaan mereka. Ketahuilah hikmah Rabb kalian dalam syari’at ini, syukurilah nikmat-Nya kepada kalian dengan kemudahan yang datang dari-Nya dan mintalah keteapan di atas agama ini hingga maut datang menjemput.

Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami, yang menghalangi kami dari mengingat-Mu. Maafkanlah kelalaian kami dalam mentaati dan mensyukuri-Mu. Jadikanlah kami senatiasa mengikuti jalan yang menuju kepada-Mu. Berikanlah kami cahaya yang membimbing kami kepada-Mu. Ya Allah, berikanlah kepada kami kenikmatan dalam rangka bermunajat kepada-Mu dan bimbinglah kami untuk menempuh jalan orang-orang yang Engkau ridhai. Ya Allah, selamatkanlah kami dari kerendahan diri, bangunkanlah kami dari kelalaian, berikanlah petunjuk-Mu kepada kami dan baguskanlah tujuan kamai dengan kemurahan-Mu. Ya Allah, gabungkanlah kami ke dalam rombongan orang-orang bertakwa dan kumpulkanlah kami dengan para hamba-Mu yang shalih. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita, Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Salam beserta seluruh keluarga dan para Sahabatnya.


(Di ringkas dari buku “MAJELIS BULAN RAMADAHAN” )

No comments:

Post a Comment

Translate